Apa yang ada di benak kamu kalau bicara tentang masa muda? Banyak orang akan memberikan definisi dan deskripsi yang berbeda-beda tentang masa muda. Perbedaan ini muncul karena pengalaman yang dialami setiap orang juga berbeda.
Begitu juga masa muda yang dialami tiap generasipun akan berbeda. Sebut saja yang lahir di tahun sebelum 90an dapat dipastikan masa mudanya belum mengenal yang namanya gadget. Akan sangat berbeda dengan generasi setelahnya di mana gadget bisa dikatakan menjadi bagian keseharian hidup mereka.
Dok. KLG |
Jawabannya pasti tidak perlu. Tapi mengapa banyak orang tua yang dengan sadar membelikan dan memberikan gadget ke anaknya yang jelas-jelas tidak memerlukan perangkat berteknologi tinggi ini?
Berbagai jawaban disertai alasan akan muncul dan semuanya dapat ditarik ke satu kesimpulan, kurangnya anak untuk bermain, baik karena kurangnya lahan bermain, waktu bagi orang tua mengajak anaknya bermain maupun lingkungan rumah di mana jumlah anak-anak yang bermain relatif sedikit.
Dok. KLG |
Fenomena inilah yang dirasakan oleh anak muda asal Sidoarjo Jawa Timur. Ahmad Irfandi namanya. Walaupun fenomena kecanduan gadget tidak ditemukan di desanya, namun pemuda yang lahir di Desa Pagerngumbuk, Kecamatan Wonoayu, Kabupaten Sidoarjo prihatin dan khawatir terhadap bahaya kecanduan gadget yang dialami anak-anak.
Ahmad Irfandi dikenal sebagai sosok pemuda yang menaruh perhatian pada pendidikan anak-anak. Keresahan melihat anak-anak kecanduan gadget (game online) dan nongkrong di warkop tanpa pengawasan menjadi latar belakang munculnya ide membangun Kampung Lali Gadget (KLG).
Dok. KLG |
Kampung Lali Gadget (KLG) yang apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti kampung lupa gadget, didirikan oleh pemuda jebolan jurusan pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari Universitas Negeri Surabaya pada 1 April 2018. Kegiatan yang dilakukan di KLG ini fokus pada program konservasi budaya dengan mengangkat kembali permainan tradisional yang nyaris tidak lagi banyak dikenal apalagi dimainkan anak-anak.
Pada awalnya Ahmad Irfandi memiliki ide untuk membangun kampung tematik. Namun melihat di desanya tidak ada produk maupun budaya lokal yang bisa diangkat dan seiring keprihatinannya melihat kecanduan gadget di lingkungan anak-anak yang menyebabkan jarangnya anak-anak bermain bahkan bisa dikatakan tidak mengenal lagi permainan tradisional, tercetuslah keinginan untuk membuat kampung gadget.
Kegiatan awal cikal bakal KLG adalah kegiatan literasi. Kurangnya minat baca anak-anak saat ini diyakini oleh Ahmad Irfandi disebabkan kecanduan gadget. Anak-anak lebih suka duduk dan menatap layar HP serta menonton tayangan online selama berjam-jam.
Dalam perkembangannya, Ahmad Irfandi dan tim serta volunteer yang membantunya mulai memvariasikan kegiatan literasi dengan mendongeng, mewarnai, dan bermain permainan tradisional. “ Di sini saya punya konsep untuk melawan kecanduan gadget dengan permainan tradisional dan muncul istilah dolanan tanpa gadget”.
Dengan modal lahan pinjaman dari desa seluas 45 x 50 meter hasil dari kemampuannya meyakinkan perangkat desa, Ahmad Irfandi mengajak masyarakat desanya untuk membuat mainan dan menjualnya. Mereka juga diperbolehkan menjual makanan dan minuman bagi pengunjung yang datang. Di awal kegiatan KLG, Ahmad Irfandi membiayai semua kegiatan KLG dari hasil usaha pribadinya sendiri yaitu berjualan udeng khas Sidoarjo.
Dok. KLG |
Pada awalnya kegiatan KLG dilakukan setiap hari Minggu dengan mengundang anak-anak dari daerah sekitarnya seperti Sidoarjo dan Surabaya. Antusiasme anak-anak ini berlanjut dan pengunjung yang datang di setiap Minggunya terus bertambah.
Seiring berjalannya waktu, KLG mulai populer di kalangan masyarakat. Dari situ, mulai ada yang peduli memberikan donasi. Berbagai dukungan baik moril maupun materil didapat dari berbagai elemen masyarakat. Kegiatan KLG juga menyentuh berbagai elemen masyarakat, termasuk pemerintah dan akademisi.
Campaign yang dirasakan efektif dan real justru berasal dari para orang tua pengguna jasa KLG. Manfaat yang dirasakan langsung orang tua ini lah yang dengan cepat membuat KLG dikenal luas.
Tidaklah ada suatu usaha apapun tanpa kendala. Demikian pula dengan KLG. Namun siapa sangka menurut si penggagasnya, kendala terbesar yang dihadapi bukan kurangnya modal namun justru mindset.
Ya, mindset atau pola berpikir masyarakat di mana HP (gadget) masih lekat dianggap sebagai bagian dari kebutuhan mengedukasi anak.
Masih minimnya pola pikir untuk memberikan perhatian pada kualitas tumbuh kembang anak menyebabkan banyak orang tua yang menganggap HP menjadi satu kebutuhan bagi anak. Kendala lainnya yang dihadapi adalah pola pikir pragmatis.
“Kalau ikut kegiatan di KLG, anak saya akan dapat apa?” Dari sini dapat dilihat masih minimnya kepedulian orang tua akan proses tumbuh kembang anak di mana bagian terpenting yang sering kali dilupakan yaitu kebutuhan bermain dan berinteraksi dengan anak-anak lainnya justru terabaikan.
Namun kendala-kendala tadi justru lebih memicu Ahmad Irfandi dan tim untuk terus mampu menggagas kegiatan-kegiatan bermain anak yang pada akhirnya diharapkan secara perlahan namun pasti dapat mengalihkan perhatian anak dari keinginannya untuk bermain gadget. Bukan gadget itu diharamkan, namun harus ditempatkan pada porsinya yang pas menurut peraih Pemuda Pelopor dari Jawa Timur ini.
Dok. KLG |
Kegigihan dan konsistensi inilah yang telah mengantarkan seorang Ahmad Irfandi menjadi salah satu peraih SATU Indonesia Award 2021 di bidang pendidikan. Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards merupakan wujud apresiasi Astra untuk generasi muda, baik individu maupun kelompok, yang memiliki kepeloporan dan melakukan perubahan untuk berbagi dengan masyarakat sekitarnya di bidang Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan, dan Teknologi, serta satu kategori Kelompok yang mewakili lima bidang tersebut.
Saat ini KLG semakin berkembang. Tidak saja menjadi wadah anak-anak bermain, namun juga menjadi wadah mengasah pengetahuan akan budaya, kearifan lokal serta meningkatkan kepekaan anak akan lingkungan sosial.
Selain itu, kegiatan di KLG tidak hanya melibatkan anak-anak, orang tua pun turut digandeng dengan memberikan seminar parenting yang diharapkan dapat secara paralel memberikan kesadaran kepada para orang tua akan bahaya kecanduan gadget.
Dok. KLG |
Perubahan positifpun dirasakan oleh sang penggagas. Saat ini anak-anak di lingkungannya punya lebih banyak pilihan bermain dari pada bermain HP. Para orangtua pun mulai terlihat lebih banyak menemani anaknya untuk bermain.
Buat seorang Ahmad Irfandi gadget adalah alat untuk mempermudah pekerjaan manusia. Dalam konteks umum, kancing baju itu gadget. Pin penjepit kertas itu gadget. Kalau dalam konteks ponsel pintar, gadget itu alat yang sangat membantu manusia dalam kebutuhan sehari-hari. Tetapi bukan alat yang baik untuk membesarkan anak dan untuk tumbuh kembang anak.
Aku juga lagi ngalamin anak-anak yg mulai susah lepas dari gadget dan benar juga nih ide KLG untuk mengajak anak-anak bermain diluar dan mengenal budaya dan mainan tradisionsl Indonesia
ReplyDeleteNah! Ide yang kembali pada masa aku kecil ini, dimana bermain diluar itu menyenangkan banget!
DeleteLuar biasa ya kepedulian Mas Ahmad Irfandi ini. Saya salut sama beliau. Semoga ada yang bisa duplikasi di daerah lain juga.
ReplyDeleteIya mba, duplikasi sangat baik ini ya
DeleteBener banget, Kak. Sebagai warga 90an yang rasanya permainannya itu timeless, tapi ternyata di masa sekarang malahan kaya hidden gems kalau ada yang masih memainkan permainan yang jaya di era 90an. Rasanya kaya lebih seru, ya. Tapi mungkin karena anak-anak sekarang tumbuhnya bersama gadget, jadi susah move onnya.
ReplyDeleteYup!Nggak bisa dipungkiri era beda ya, bisa tetap ambil kombinasikan nih buat ortu - ortunya
DeleteGadget buat alat informasi, bukan menjauhkan diri dari sosialisasi ya kak Git.
ReplyDeleteSemoga banyak kampung seperti ini buat masa depan anak-anak ya
Semoga, karena duplikasi yang baik ini
DeleteSemua bahagia berada di Kampung Lali Gadget yaa..
ReplyDeleteSalut banget dengan Ahmad Irfandi yang menginisiasi hal sesederhana menikmati waktu bersama teman, sekitar dan bermain bersama.
Iya ,terakomodir juga, lahan ada dan anak anak juga mayoritas mau ya ini bermain di luar
DeleteAnak-anak perlu dikembalikan pada situasi permainan tanpa gadget. Supaya motorik dan rasa sosialnya berkembang. Program kayak gini emang patut diapresiasi
ReplyDeleteTepat mba, sesederhana apapun permainannya ya, bergerak itu memang menyenangkan
DeleteIde dan eksekusinya keren banget euy, jadi anak2 tidak terpaku dengan gadgetnya Dan bisa olah gerak tubuh terus sehingga makin sehat deh. Permainan jaman kecil begini jd bikin nostalgia juga buat para orang tua jd mereka jg bs ikut bermain dengan anak-anaknya
ReplyDeleteNah iya, saya yang nulis juga serasa back to masa kecil, karena familiar dengan permainan - permainan dalam foto ini.
DeleteKeren nih kampung lali gadget. Gadget itu memang penting di era teknologi seperti sekarang, tetapi bukan berarti harus meninggalkan permainan zaman dulu. Karena, setiap permainan itu ada nilai positifnya.
ReplyDeleteIya teknologi nggak bisa dibendung, kitanya yang menyesuaikan ya
DeleteJujur saya pengen banget lho berkunjung ke kampung Lali gadget ini, dan pengen banget bisa ATM kegiatan di kampung tersebut dan setidaknya mencoba menerapkannya di lingkungan terkecil di rumah. Bagaimanapun aktifitas bermain tanpa gadget lebih banyak manfaatnya bagi perkembangan anak.
ReplyDeleteKebayang ya mba hari - hari saat anak - anak disini kumpul😍
DeleteBoleh juga ya kalo kegiatan yang dilakukan itu bisa bikin anak2 kita lupa gadget jd lebih fokus berkegiatan yang positif
ReplyDelete